MEMURAHKAN MAAF
Apa hal yang termasuk paling sulit di dunia
ini? Ujian sekolah? Ah kalau belajar sungguh-sungguh, insya Allah nggak sulit,
minimal ada bagian pelajaran yang menjadi bagian dari pertanyaan.
Lalu
apa? Keliling dunia? Meski nggak punya uang sendiri sebagai modal, asal usaha
keras, bisa kok melalui bea siswa,
minimal masih ada peluang deh. Trus
apaan dong? Hayo apa?
MAAF! Baik itu meminta maaf ataupun
memberi maaf. Sulit kan?
Setidaknya itu yang saya rasakan berdasarkan
pengalaman saya, sebagai mahluk yang dinamakan manusia, kita seringkali
meninggikan gengsi hingga merasa sulit sekali mengucapkan maaf. Apalagi jika kita “merasanya” kita yang
benar. Dan benar saja,
mengutarakan kata maaf lebih dahulu adalah sulitnya bukan main. Ada ego yang besar yang dinamakan rasa
gengsi,
“Ih
kan gue nggak salah”, atau
“Meski
gue salah, tapi kan dia yang duluan nyakiti hati ini!” (Jiyyee lebay bener).
Hayo,
merasa kesindir yah? Hwuhehehe..tenang aja, ini masih sering terjadi pada diri
saya juga kok.
Sebelum bicara soal MAAF, biasanya didahului
karena adanya konflik, mau itu konflik kecil atau besar, dan biasanya konflik
menyisakan rasa yang namanya TIDAK NYAMAN. Apalagi jika kita berkonflik dengan orang yang kita temui dalam
keseharian, misal dengan orang tua, sahabat, teman kerja atau pasangan. Duh nggak enak banget deh! Iya kan? Dan
jika ditanya hati nurani terdalam (kalau punya hati lho), saya rasa nggak ada
orang yang suka hidup dalam konflik, nggak lempeng gitu rasanya menjalani
hidup. Saya jika sedang berkonflik,
ada rasa serba salah, suka kepikiran, ujung-ujungnya mengganggu aktifitas
keseharian. Pastinya ingin
mengakhiri konflik dan berbaik-baik kembali. Jika masalahnya “ringan” sih mungkin nggak membutuhkan waktu
lama, hubungan konflik akan baik dengan sendirinya. Masalahnya jika konflik yang terjadi justru masalah yang “berat”
atau sangat menyinggung salah satu pihak, tanpa ada kata maaf biasanya hanya
berujung dendam atau luka tiada obat, saling bermusuhan, tiada sapa, saling
curiga, duh yang ada dosa satu sama
lain. Mau salah ataupun benar saat berkasus, tetap aja sama-sama doa pada
akhirnya.
Sebagai manusia biasa, tentu saya juga pernah atau masih sering berbuat
salah, berkata dan berlaku yang kadang kurang atau tidak berkenan di hati orang
di sekeliling saya, baik sadar ataupun tidak sadar. (“GUE JUGA MANUSIA”
*SING!). Nah sudah barang tentu
meskipun sebagai orang yang sedang berproses ingin menuju sosok yang lebih
baik, tentu saja saya masih tak luput dari hal-hal yang berhubungan dengan
konflik. Dan seperti orang-orang
pada umumnya, konflik sering terjadi justru dengan orang-orang terdekat kita.
Kembali ke laptop (Duh Tukul banget sih!). Ceritanya suatu hari untuk kesekian kalinya saya berkonflik
dengan salah satu orang terdekat saya.
Dan untuk kesekian kalinya pula saya merasa sayalah yang benar, dan saya
yakin dia juga merasakan hal yang sama, pasti dia juga merasa dia yang benar
(berarti kami sama-sama manusia biasa yah? Hwuhehehe). Dan benar saja lho, efek dari konflik
itu sungguh tidak mengenakkan; komunikasi terputus, dan terburuk adalah hati
jadi galau (*SUMPEH KAGAK ENAK).
Dari yang merasa benar, jadi merasa serba salah. Basically
I don’t like being in conflict.
GANGGU BANGET dalam menjalani kegiatan keseharian.
Saat konflik fisik berlalu, kemudian saya masuk dalam tahap berfikir,
mengapa bisa begini, kok bisa begitu.
Dari yang awal merasa GUE YANG BENAR, kelamaan kok jadi makin rasa
bersalah, jangan-jangan memang saya yang salah. Sementara setan terus berbisik di telinga kiri,
“Tapi kan dia udah nyakiti perasaan kamu, kamu pantas marah kok!”, tapi
ada perang batin juga dari sisi si baik hati,
“Tapi dia begitu kan karena dia sayang sama kamu meski penyampaiannya
tidak sesuai yang kamu harapkan, bukankah manusia memiliki berbagai karakter
yang tidak bisa kamu paksakan seperti yang kamu minta. Belum tentu lho yang kamu inginkan itu
baik untukmu, siapa tahu caranya memperlakukanmu itu justru yang tepat untukmu,
walluhu’alam”, ujar suara hati saya yang lain.
Terus
bergejolak dalam hati, bikin makin resah, makin galau, beneran deh nggak enak
berkonflik sama orang lain, ngapa-ngapin nggak focus.
Alhasil, dari proses berfikir tersebut, saya makin menyadari, bahwa
tidak ada gunanya terus-terusan berkonflik, tidak ada untung sama sekali, yang
ada terus merugi, khususnya hubungan silaturahim jadi terputus. Apalagi ini hanya soal perbedaan sudut
pandang, apa pantas demi (sok) gensi dan (sok) harga lantas membiarkan silaturahim
tergadai? Apalagi jika lebih dari
3 hari bermusuhan maka doa besar sudah menanti. Ohya, satu lagi yang harus jadi pertimbangan kita untuk
segera mengakhiri konflik, iya kalau umur kita masih panjang, kalau besok kita
meninggal dunia dan masih menyimpan amarah/dendam, bukankah kita membawa
tambahan dosa, sementara dosa-dosa yang lalu belum tentu sudah dimaafkan-Nya. Atau jika ‘lawan’ kita yang lebih dulu
pergi meninggalkan kita selamanya, apa kita mau dirudung penyesalan karena
belum sempat berbaikan? Na’udzubillahi minzalik! NGGAK MAU!
Atas berbagai alasan tersebutlah serta rasa tak nyaman, “permasalahan”
ini harus segera diselesaikan. Apa
solusinya selain saling bermafaan?
Mengingat lebaran masih lama, ya nggak mungkinlah saya menunggu
lebaran. Dan juga mengingat beliau
yang saya maksud adalah berusia lebih tua, rasanya naïf sekali kalau saya
berharap dia meminta maaf duluan, toh saya sendiri sadar, permasalahan ini
bukan soal siapa yang salah atau benar, kembali pada bahasan diatas, soal benar/salah,
sejatinya siapa yang paling bisa menilai? HANYA ALLAH SUBAHANALLAHUWATA’ALA
bukan? Maka dari itulah saya
memutuskan, konflik ini harus berakhir dengan saya MEMINTA MAAF LEBIH DAHULU!
CATAT : MEMINTA MAAF!
Saya CAPSLOCK kata MAAF, bukan pamer atau menekankan pada saya sebagai
subjek, duh sombong amat membanggakan
diri sebagai si peminta maaf, tapi tidak juga harus merasa malu mentang-mentang
minta maaf duluan kemudian saya yang salah. Sudah tidak penting siapa yang benar/salah, yang penting
konflik harus berakhir. Tapi
sebelum mengeksekusi (Ciyyee ekren banget bahasanya) permohonan maaf, tentu ada
pergulatan batin, egoisme-egoisme diri masih berperang di dalam batin, makannya
soal MAAF adalah hal yang sulit bagi kita si manusia biasa. Sebagai tombak pembasmi egoisme memang
harus kembali pada RIDHO yang MAHA KUASA, mau dapat ridho-Nya apa nggak? Maka,
baik itu minta maaf atau memaafkan sudah tidak perlu lagi dipertimbangkan,
apalagi dengan orang-orang terdekat kita.
! WE JUST NEED HIS RIDHO! (Duh apa sih bahasa inggrisnya RIDHO?):P, then
JUST DO IT. Meminta MAAF.
Saya harus siap dengan segala konsekuensi, dan karena niatnya meminta
maaf, saya sudah ‘berjanji’ agar tidak memancing konflik berkelanjutan agar
saya sungguh-sungguh ikhlas meminta maaf, tidak perlu mempertahankan argumen-argumen
kemarin. Sudah, minta maaf ya minta maaf, tidak mencari pembenaran apalagi
menghakimi kesalahan seseorang.
Siapa tahu memang saya yang salah, walluhu’alam.
Dan, Allah selalu bersama orang-orang yang sabar dan ikhlas,
Alhamdulillah, proses meminta maaf berjalan hikmad (Deuh bahasanyeee). Melangkahkan kaki, “menemuinya”,
mengungkapkan sepatah dua kata begitu ringan. Apapun reaksinya saya lillahi ta’ala, yang penting saya
ikhlas meminta maaf. At least saya
mengalahkan egoisme melawan SYAITONNIRROJIIIIM! ;-)
Nah sekarang mikir deh, lagi berkonflik dengan siapa? Cepetan minta
maaf, belum tentu umur kita panjang, siapa tahu kita atau orang-orang yang
berkonflik dengan kita dipanggilnya lebih dulu, lalu kita masih terlibat amarah
karena konflik? Na’udzubillahi minzalik.
No comments:
Post a Comment